"Mas ... Aku mau beli keperluan kita di toko dekat lampu merah." Pamitnya setelah dia menerima transferan itu.
"Nggak mau ditemenin Mas?" Tanyaku.
"Nggaklah Mas. Mas lanjutin tidur aja. Siapa tau nanti dapat transferan lagi." Sambil dia terkekeh.
Mila. Nama istriku. Ku akui dia itu sangat pandai. Dia dari dulu sudah bekerja di sebuah koperasi di dekat rumahnya. Karena dia ikut denganku, dia sekarang mengundurkan diri dari pekerjaannya.
Ragil. Namaku. Aku tak sepandai istriku. Namun aku cerdas dan pandai berkomunikasi. Maklumlah jelek-jelek seperti ini aku Sarjana Hubungan Internasional. Tapi entalah aku orang yang terlalu cepat bosan dengan pekerjaan.
" Buk ... Aku izin kerja ya di Surabaya?" Tanyaku ke ibuk sewaktu aku masih lajang.
" Kalau kamu kerja, siapa yang nemenin ibuk Le?" Dan lagi air matanya sudah jatuh.
Tak berapa lama Mbak Diana, kakak keduaku menelpon.
" Jangan buat Ibuk sedih, sampai nangis. Udah diam aja di rumah!"
"Tapi mbak, aku juga pengen kerja. Gimana nanti aku kalau sudah punya anak?" Tanyaku.
" Mbak-mbak dan Mas tanggung semuanya." Kata itulah yang menjadi prinsipku sekarang ini. Tinggal telpon udah dapet uang. Mudahkan. Aku sebenarnya sadar Tuhan memberiku tangan dan kaki untuk usaha mencari rezeki, namun apalah daya jika nasibku enakku seperti ini.
4 tahun silam sebelum aku mengenal Mila. Aku sempat bekerja disalah satu dinas di Kabupaten ini. 2 bulan bekerja, setelah itu mengundurkan diri. Gara-gara aku tergiur usaha peternakan ikan koi yang sangat menjanjikan.
Apakah usaha itu berhasil? Nol besar. Bahkan rugi. Namun aku tidak merasa rugi. Toh itu bukan uangku. Lagi-lagi para kakak yang membiayai usaha itu.
Sebulan setelah menganggur, aku berkenalan dengan salah satu anggota dewan. Beliau memberiku pekerjaan untuk menjadi sopirnya. Aku senang menerima pekerjaan ini.
" Mas, aku sekarang jadi sopirnya pak Dewan." Ku telpon Nuha.
" Apa? Udah berapa lama? Mas nggak suka ya kamu deket-deket dengan orang seperti itu, nanti kalau dia kena kasus kamu ikutan dipenjara mau?" Omelnya diujung telpon.
"Tapi aku suka Mas sama pekerjaan ini." Jelasku.
Menjadi bimbang, kenapa setiap dapat pekerjaan selalu begini. Ini sudah mulai suka mas nggak suka. Emang susah ya jadi Ragil. Akhirnya aku jadi pengangguran lagi.
"Nah gitu lho Le ... Kamu itu selalu di rumah. Jadikan enak kalau ibuk mau kemana ada yang nganter." Wajah ibuk terlihat cerah.
" Tapi buk ... Aku juga mau kerja."
" Kerja di rumah aja. Bantu Ibuk ngawasi orang-orang di sawah."
Gantilah pekerjaanku saat itu, ngawasi orang di sawah. Ya cuma ngawasi dan digaji sama ibuk 2 kali lipat dari para buruh itu. Uang yang ku dapat lumayan. Tapi bosanlah. Aku harus bangun pagi dan pulang sore. Walaupun hanya mantengin orang, ternyata capek juga. Lalu aku ngeluh dan jadi pengagguran lagi.
"Mas ... , Ngalamun aja." Mila datang dan mengagetkanku.
"Apa-apaan ini ... "
Masih belum terjawab cekernya...?