Senin, 28 September 2020

Tersentil

 Rasa tersentil ketika saya tahu salah satu teman meng-upload sebuah foto di aplikasi WA. Beliau meng-upload sebuah sampul buku antologi yang bertuliskan namanya. Pertama saya langsung berucap wah keren. Hanya sebatas itu, namun semakin kesini saya merasa penasaran dan jiwa ke-kepoan pun membuncah. 


Kapan hari saya menghubungi beliau, bertanya banyak hal yang tidak jauh dari kepenulisan. Mulai komunitas menulis yang beliau ikuti, wadah menulis yang beliau ikuti, hingga saya ditawari untuk bergabung disalah satu komunitas yang beliau ikuti dan di dalamnya tentu ada sosok senior dan dosen saya di IAIN Tulungagung beliau ada bapak Ngainun Naim. 


Tepat sekali 2 hari sebelum saya bergabung dengan komunitas tersebut saya sempat menghubungi beliau untuk menanyakan salah satu buku beliau yang akan menjadi rujukan ketika saya mengajar. Aplikasi biru itu saya buka dan menemukan sekitar tahun 2010 ternyata saya sudah pernah berkomunikasi dengan beliau dan meminta kata-kata yang menginspirasi.


Malu rasanya membaca chat tersebut, saya saat itu mengenal beliau sebatas pengisi acara ketika saya masih sekolah di MAN 2 Tulungagung. Semoga melalui sentilan 2 sosok yang menginspirasi, saya lebih giat belajar membaca dan menulis. Terimakasih sahabatku Aniz Zunaidah telah mengenalkan dengan komunitas yang bermanfaat ini.

Tulisan pertama setelah bergabung dengan Sahabat Pena Kita Tulungagung




Lempuing Jaya, 28 September 2020

Minggu, 20 September 2020

Ceker bagian 2

"Mas ... Aku mau beli keperluan kita di toko dekat lampu merah." Pamitnya setelah dia menerima transferan itu. 


"Nggak mau ditemenin Mas?" Tanyaku.


"Nggaklah Mas. Mas lanjutin tidur aja. Siapa tau nanti dapat transferan lagi." Sambil dia terkekeh.


Mila. Nama istriku. Ku akui dia itu sangat pandai. Dia dari dulu sudah bekerja di sebuah koperasi di dekat rumahnya. Karena dia ikut denganku, dia sekarang mengundurkan diri dari pekerjaannya. 


Ragil. Namaku. Aku tak sepandai istriku. Namun aku cerdas dan pandai berkomunikasi. Maklumlah jelek-jelek seperti ini aku Sarjana Hubungan Internasional. Tapi entalah aku orang yang terlalu cepat bosan dengan pekerjaan. 


" Buk ... Aku izin kerja ya di Surabaya?" Tanyaku ke ibuk sewaktu aku masih lajang.


" Kalau kamu kerja, siapa yang nemenin ibuk Le?" Dan lagi air matanya sudah jatuh.


Tak berapa lama Mbak Diana, kakak keduaku menelpon.

" Jangan buat Ibuk sedih, sampai nangis. Udah diam aja di rumah!"

"Tapi mbak, aku juga pengen kerja. Gimana nanti aku kalau sudah punya anak?" Tanyaku.

" Mbak-mbak dan Mas tanggung semuanya." Kata itulah yang menjadi prinsipku sekarang ini. Tinggal telpon udah dapet uang. Mudahkan. Aku sebenarnya sadar Tuhan memberiku tangan dan kaki untuk usaha mencari rezeki, namun apalah daya jika nasibku enakku seperti ini. 


4 tahun silam sebelum aku mengenal Mila. Aku sempat bekerja disalah satu dinas di Kabupaten ini. 2 bulan bekerja, setelah itu mengundurkan diri. Gara-gara aku tergiur usaha peternakan ikan koi yang sangat menjanjikan.


Apakah usaha itu berhasil? Nol besar. Bahkan rugi. Namun aku tidak merasa rugi. Toh itu bukan uangku. Lagi-lagi para kakak yang membiayai usaha itu. 


Sebulan setelah menganggur, aku berkenalan dengan salah satu anggota dewan. Beliau memberiku pekerjaan untuk menjadi sopirnya. Aku senang menerima pekerjaan ini. 


" Mas, aku sekarang jadi sopirnya pak Dewan." Ku telpon Nuha.

" Apa? Udah berapa lama? Mas nggak suka ya kamu deket-deket dengan orang seperti itu, nanti kalau dia kena kasus kamu ikutan dipenjara mau?" Omelnya diujung telpon.

"Tapi aku suka Mas sama pekerjaan ini." Jelasku.


Menjadi bimbang, kenapa setiap dapat pekerjaan selalu begini. Ini sudah mulai suka mas nggak suka. Emang susah ya jadi Ragil. Akhirnya aku jadi pengangguran lagi.


"Nah gitu lho Le ... Kamu itu selalu di rumah. Jadikan enak kalau ibuk mau kemana ada yang nganter." Wajah ibuk terlihat cerah.


" Tapi buk ... Aku juga mau kerja." 

" Kerja di rumah aja. Bantu Ibuk ngawasi orang-orang di sawah." 


Gantilah pekerjaanku saat itu, ngawasi orang di sawah. Ya cuma ngawasi dan digaji sama ibuk 2 kali lipat dari para buruh itu. Uang yang ku dapat lumayan. Tapi bosanlah. Aku harus bangun pagi dan pulang sore. Walaupun hanya mantengin orang, ternyata capek juga. Lalu aku ngeluh dan jadi pengagguran lagi. 


"Mas ... , Ngalamun aja." Mila datang dan mengagetkanku.

"Apa-apaan ini ... "


Masih belum terjawab cekernya...? 


Ceker


Ragil. Begitulah namaku, nama pemberian dari ibu. Beliau berniat memberiku nama itu dengan harapan aku adalah anak terakhirnya. Putri ibuk ada 3, mbak Liya, mbak Diana dan mbak Tini, sedangkan putranya ada mas Nuha dan aku. Kami berlima setelah bapak meninggal sangat menjaga ibu. Begitupun denganku tentunya. Untuk menyenangkan hati ibu aku merelakan untuk segera menikah. Ya memang sebenarnya usia 30 tahun bagiku masih muda untuk menikah di usiaku sekarang ini. 


[Hari ini temuai aku di tempat biasa ya sayang] Pesan singkat dari kekasihku.


[Siap sayang] Dengan sangat semangat aku membalasnya. 


Dia Mila. Kekasihku yang masih sangat belia, bahkan usianya belum genap 20 tahun. Dengan motor matic merahku segeralah ku lalui dinginnya udara pagi ini. Kami biasa bertemu di sebuah warung bernuansa pedesaan di tengah persawahan. 


"Lama sekali Mas." Sapanya ketika aku datang. Belum sempat jaket ini ku lepas, dia sudah mendaratkan kepala di dadaku. 


"Maafkan mas ya Dik, mas janji minggu depan akan melamarmu." Aku tahu pasti dia akan menanyakan hal ini. 


"Makasih ya Mas." Jawabnya singkat.


Tanpa ambil pusing segeralah aku melamarnya. Aku terpesona oleh kecerdasannya dan tidak bisa dibohongi paras cantik wajahnya. Hidung mancung serta tinggi badannya yang ideal, sangat sempurna jika bersanding denganku.


"Kamu yakin Le ... Dia baik untukmu?" Tanya ibu sesaat sebelum aku memasuki rumah Mila untuk melamarnya. 


"Yakin bu." Jawabku mantap.


Prosesi lamaranpun telah usai. Disepakati kedua keluarga 2 minggu yang akan datang kami akan menikah. Bukan hal yang sulit bagiku, secara usia aku sudah matang dan secara materi kakak-kakakku bersedia menyiapkan semuanya untuk acara pernikahan kami. 


"Sah." Para saksi berkata. Aku sangat bersyukur hari ini aku sudah memilikinya sepenuh hati. 


Ibu pun sangat bahagia karena kehadiran Mila di rumah ini. Seminggu, dua minggu hingga beberapa bulan kami hidup berbahagia. Sampailah diusia pernikahan kami keenam bulan. Malapetaka itu datang. 


"Mas." Bentaknya, pagi itu ketika pukul 7 aku belum bangun. Ya memang sudah menjadi kebiasaan, aku selalu bangun siang.

 

"Iya Dik." Ku jawab sambil membuka mata. Kulihat dia dengan wajah yang selama ini belum pernah ku lihat.


"Enak-enak ya Mas, tiduran jam segini. Cari kerja sana Mas. Aku sudah gak ada pegangan uang." 


"Gak usah bentak-bentak ya, nanti siang akan aku kasih kamu segebok uang." Jawabku lantang dan lalu melanjutkan tidur. Uang adalah masalah gampang untukku. 


Segera aku telpon mbak Liya, kakak pertamaku.

"Mbak, kirimin aku uang ya. 5 juta." Perintahku dari ujung telpon.


"Iya Dik, ini mbak langsung transfer. Segera kamu cek." Jawab mbak Liya sambil menutup telpon.


Tuh benarkan. Uang adalah hal mudah bagi Ragil. Segera si Mila dateng menenteng HP sambil menunjukkan notifikasi dari bank.


"Makasih ya Mas ... " Dia memelukku erat. Ah dasar wanita ini. Ya begitulah aku. Selalu meminta kiriman uang kepada kakak-kakakku. Karena aku ragil. Iya namaku Ragil. 

Hobinya Berkunjung ke Tempat Teman dan Saudara

  Hobinya Berkunjung ke Tempat Teman dan   Saudara   Hobi merupakan kesenangan seseorang untuk melakukan sesuatu hal. Seperti saya dan k...