Ragil. Begitulah namaku, nama pemberian dari ibu. Beliau berniat memberiku nama itu dengan harapan aku adalah anak terakhirnya. Putri ibuk ada 3, mbak Liya, mbak Diana dan mbak Tini, sedangkan putranya ada mas Nuha dan aku. Kami berlima setelah bapak meninggal sangat menjaga ibu. Begitupun denganku tentunya. Untuk menyenangkan hati ibu aku merelakan untuk segera menikah. Ya memang sebenarnya usia 30 tahun bagiku masih muda untuk menikah di usiaku sekarang ini.
[Hari ini temuai aku di tempat biasa ya sayang] Pesan singkat dari kekasihku.
[Siap sayang] Dengan sangat semangat aku membalasnya.
Dia Mila. Kekasihku yang masih sangat belia, bahkan usianya belum genap 20 tahun. Dengan motor matic merahku segeralah ku lalui dinginnya udara pagi ini. Kami biasa bertemu di sebuah warung bernuansa pedesaan di tengah persawahan.
"Lama sekali Mas." Sapanya ketika aku datang. Belum sempat jaket ini ku lepas, dia sudah mendaratkan kepala di dadaku.
"Maafkan mas ya Dik, mas janji minggu depan akan melamarmu." Aku tahu pasti dia akan menanyakan hal ini.
"Makasih ya Mas." Jawabnya singkat.
Tanpa ambil pusing segeralah aku melamarnya. Aku terpesona oleh kecerdasannya dan tidak bisa dibohongi paras cantik wajahnya. Hidung mancung serta tinggi badannya yang ideal, sangat sempurna jika bersanding denganku.
"Kamu yakin Le ... Dia baik untukmu?" Tanya ibu sesaat sebelum aku memasuki rumah Mila untuk melamarnya.
"Yakin bu." Jawabku mantap.
Prosesi lamaranpun telah usai. Disepakati kedua keluarga 2 minggu yang akan datang kami akan menikah. Bukan hal yang sulit bagiku, secara usia aku sudah matang dan secara materi kakak-kakakku bersedia menyiapkan semuanya untuk acara pernikahan kami.
"Sah." Para saksi berkata. Aku sangat bersyukur hari ini aku sudah memilikinya sepenuh hati.
Ibu pun sangat bahagia karena kehadiran Mila di rumah ini. Seminggu, dua minggu hingga beberapa bulan kami hidup berbahagia. Sampailah diusia pernikahan kami keenam bulan. Malapetaka itu datang.
"Mas." Bentaknya, pagi itu ketika pukul 7 aku belum bangun. Ya memang sudah menjadi kebiasaan, aku selalu bangun siang.
"Iya Dik." Ku jawab sambil membuka mata. Kulihat dia dengan wajah yang selama ini belum pernah ku lihat.
"Enak-enak ya Mas, tiduran jam segini. Cari kerja sana Mas. Aku sudah gak ada pegangan uang."
"Gak usah bentak-bentak ya, nanti siang akan aku kasih kamu segebok uang." Jawabku lantang dan lalu melanjutkan tidur. Uang adalah masalah gampang untukku.
Segera aku telpon mbak Liya, kakak pertamaku.
"Mbak, kirimin aku uang ya. 5 juta." Perintahku dari ujung telpon.
"Iya Dik, ini mbak langsung transfer. Segera kamu cek." Jawab mbak Liya sambil menutup telpon.
Tuh benarkan. Uang adalah hal mudah bagi Ragil. Segera si Mila dateng menenteng HP sambil menunjukkan notifikasi dari bank.
"Makasih ya Mas ... " Dia memelukku erat. Ah dasar wanita ini. Ya begitulah aku. Selalu meminta kiriman uang kepada kakak-kakakku. Karena aku ragil. Iya namaku Ragil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar