Bagian 3
Bruk... Bruk....
Mila datang mengagetkan lamunanku. Dia datang dengan membawa seabreg barang yang entah bagaimana dia tadinmembawanya.
"Mas ... Baguskan bajunya?" Sambil dia mempertontonkan tunik renda-renda.
Hanya ku balas dengan anggukan. Sampai beberapa kali dia membuatku mengangguk-angguk. Hasilnya ya kamar kini jadi pasar dadakan.
"Dik, tadi bilangnya mau belanja kebutuhan harian, kok baju semua ini?" Tanyaku bingung.
"Mas kan belum beliin aku baju selama kita nikah!" Bentaknya. Aku jadi sadar diri.
" Yaudah. Cepat beresin dan masakin Mas. Udah laper nih cacing." Pintaku.
"Uang kita banyak Mas, ngapain harus masak. Ayo kita ke warung depan kecamatan. Baksonya enak lho Mas." Tawarnya dan aku hanya mengiyakan saja.
Setelah beberapa menit, sampailah kita di sebuah warung kecil namun sesak pengunjung. Apalagi jam-jam makan siang seperti ini.
"Dik, pesenin mas Mie Ayam ceker ya. Cekernya yang banyak. Minta tempat sendiri buat naruh cekernya. Jangan lupa lagi es teh nya minta tambahin gula biar tambah manis kayak kamu sayang." Pintaku sambil ku cubit hidung mancungnya.
Tak berapa lama pesanan kami datang. Lengkap dengan segala permintaanku. Memang enak sekali. Mienya gurih ditambah lagi ceker yang bikin semangat buat segera dimakan.
Dari sebelah kursi ku dengar orang berkata.
"Hidup itu butuh perjuangan Nak. Jangan mudah menyerah. Apalagi kamu akan jadi imam keluarga. Ibarat orang Jawa mengatakan kamu itu harus kayak ceker ini. Harus rajin dan pinter mencari rezeki. Kalau pun istrimu kaya ya memang itu rezekimu. Tapi nafkah adalah kewajibanmu." Sumpah ini kayak petir di siang bolong. Nafsu makanku jadi berubah.
"Kita pulang Dik!"
"Kan belum habis Mas, sayang tau Mas ini kalau dibuang."
"Udah. Taruh. Kita pulang." Setelah ku taruh lembaran merah di meja langsung ku laju jalanan dengan muka yang entah bagaimana. Rasanya panas. Harga diriku terasa tersindir. Sampai rumah aku hanya diam. Dan diam hingga berhari-hari.
Seminggu kemudian Mila mengajakku ke rumah mbak Liya. Hanya berjarak 20 KM sebenarnya. Namun, aku jarang kesana karena aku tahu pasti hanya ada pembantunya.
"Mas tahu, kenapa Mila ajak kesini?." Aku menggeleng.
Lanjutnya lagi "Mila kepengen bulan madu Mas. Juga kepengen menghibur Mas yang semingguan ini cuma diam aja."
"Mas itu kepikiran Dik. Mas merasa bersalah kenapa jadi seperti ini. Mas belum bisa mandiri. Bahkan nafkah untukmu bukan hasil keringatku Dik." Jawabku lemas.
"Udahlah Mas. Nikmatin aja. Aku terima kok kalau kamu kayak gini. Nanti pasti mbak dan mas akan mengirimi kita uang Mas, secara mereka kaya Mas."
"Gitu ya Dik?"
"Ya iyalah Mas. Uang setumpuk mau diapakan kalau nggak buat kita adik ragilnya." Jawabnya mantap.
"Bener banget ya Dik."
Begitulah hidupku. Uang bukan jadi masalah. Namanya juga Ragil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar