Senin, 30 November 2020

Istriku Juga Seperti Intel

 Istriku juga seperti intel 


"Bu ... HP Ayah dimana?" Tanyaku sehabis aku bangun pagi. Terdengar bunyi penggorengan dari dapur. Pasti dia sudah bangun sedari tadi.

"Di atas meja dekat kasur Yah." Teriaknya dari ujung dapur.

"Ok" jawabku lirih. Nah itu dia.

2 hari lalu aku sekeluarga jalan-jalan ke alun-alun kota, Anakku yang kedua kini sangat aktif seperti berlarian, manjat dan gulung-gulung. Sampai dia terjatuh.

"Bu ... Adik terjatuh, gimana ini?" Tanyaku sambil membopong anak keduaku.

"Siniin Yah." Terlihat dengan lihai istriku membersihkan luka si kecil. Mulai alkohol, kapas, plaster, obat merah, minyak kayu putih ada di tangan istriku. Ah dia kayak kotak P3K aja. Terimakasih sayang.

Selesai dia mengobati sekecil. Aku baru ingat bahwa sedari tadi kacamatku sudah nggak nangkring lagi dihidungku. Kebawa suasana khawatir entah aku tadi meletakkannya dimana.

"Bu ... Kacamata Ayah mana?" Tanyaku asal.

"Itu lho Yah, di dekat prosotan. Ada kursi kayu warna merah di dekatnya itu ada meja kecil, di bawah meja ada kayu kecil yang melintang. Di atas itu lah kacamatanya." Dalam hatiku nggak percaya. Masak serumit itu kan tadi dia nggak ngawasi si adek mainan. Kok bisa tahu dimana kacamataku.

"Bu... Ini udah ketemu. Kok bisa tahu sih letaknya disitu?"

"Istrimu ini punya indra keenam Yah, jangankan kacamata, HP atau sekedar obat-obatan seperti ini. Apapun barang Ayah pasti ibu tau. Sampai chat WA Ayah dengan siapapun ibu tau. Awas aja kalau aneh-aneh. 

Ah istriku ini. Makhluk aneh yang Tuhan ciptakan untukku. Bersyukur sekali bisa seumur hidup bersamamu.

Sabtu, 28 November 2020

Istriku Pintar Cari Duit

"Yah ... Ibu ke pasar dulu ya?" Itu adalah suara merdu bidadariku. Bidadari yang kupinang semenjak lima tahun lalu. Dia tetap sama seperti dulu ceria dan cantik. 

"Iya." Jawabku malas dari dalam kamar. Namanya juga hari minggu. Hari dimana aku akan menghabiskan waktu seharian di kasur empuk ini.

"Yah... Ibu nemu 5 ribuan ini kantong celana, ibu ambil ya?" Dia kembali lagi, kuu kira ada yang ketinggalan. Belum juga aku menjawab dia sudah melanjutkan lagi.

"Ini 10 ribuan di dalam kopyah, juga ibu ambil ya." Tau aja dimana aku menyimpan uang.

"20 ribuan sebanyak 10 lembar ada di jok motor juga ibu ambil ya, dan satu lagi warna merah 5 lembar di toples rokok ayah juga ibu ambil ya." Aku melongo mendengarkannya.

"Memang jago banget istriku mencari uang, cukup di rumah aja udah dapat uang segitu banyaknya." Jawabku datar.

"Hehehe, makanya Ayah bersyukur mendapat istri sepertiku." Jawabnya sambil terkekeh.

"Ambillah semuanya, itu hakmu sayang." 

Kamis, 05 November 2020

Ceker

 Bagian 5


"Selamat pagi semua, perkenalkan ini Pak Ragil. Beliau mulai hari ini akan menjadi asisten saya. Saya harap semua bisa bekerja sama dengan beliau." Intan memperkenalkanku di depan semua karyawannya. 


"Siap Bu." Semua karyawan menjawab serentak.


"Selamat pagi semuanya. Perkenalkan nama saya Ragil, mohon bimbingan dari para senior. Untuk bu Intan terimakasih sudah menerima saya bekerja di pabrik ini." Kini giliranku memperkenalkan diri. Dengan gaya keren berjaz dan berdasi, sudah lama aku memimpikan ini. Terimakasih Tuhan.


Setelah memperkenalkan diri, semua langsung bekerja pada pos-posnya. Aku hanya menguntit kemana saja Intan pergi. Karena pabrik yang dimiliki Intan ada 3 jadi dia harus mengadakan kunjungan secara bergilir. Pabrik pertama ada di kota ini, pabrik kedua ada di kota sebelah dengan jarak tempuh 30km sedangkan pabrik yang ketiga ada di provinsi sebelah yang membutuhkan waktu kisaran 5 jam untuk sampai kesana.


Hari ini waktunya Intan berkunjung ke pabrik yang ketiga, biasanya Intan ke sana sendiri. Karena sekarang aku sudah menjadi asistennya, maka tugaskulah untuk menemaninya. 


"Mas Galih, tolong cek semua berkas di meja ya. Kalau sudah lengkap kita langsung berangkat. Semoga tidak macet agar kita bisa langsung pulang nanti." Pintanya dengan nada sopan.


"Baik Bu." Jawabku tegas, grogi karena aku sudah lama tidak bekerja.


"Kok panggil saya Bu, panggil aja Intan." Dia sedikit cemberut aku panggil bu.


"Nggak enaklah kalau langsung, saya panggil Dek aja ya?" Aku bingung masa dengan atasan langsung manggil nama, kan nggak sopan itu.


"Baiklah kalau begitu. Ayo kita berangkat." Sambil kami berjalan menuju mobil.


Selam di mobil kami hanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku bingung mau memulai pembicaraan dari mana. 


Ting ... Ting ... Ting ...

 Bunyi ponselku. Segera aku minta izin untuk mengangkatnya. Sekarang giliran mbak Liya yang menelponku. Firasat ini.


"Halo Mbak ... "


"Dek ... Harus berapa kali mbak bilang nggak usah kerja, barusan mbak transfer 10 juta. Sekarang kamu langsung mengundurkan diri ya." Jauh disana kakakku memerintah.


"Tapi Mbak ... Kenapa? Ibuk ngizinin kok. Ibu juga sudah ada temennya. Mila kan nggak kerja Mbak, dia selalu ada buat Ibuk." Jelasku dengan sedikit berbisik taku jika kedengaran sama Intan.


"Mila? Barusan mbak telpon istrimu itu. Dia lagi arisan di warung bakso KITA. Kamu tahu kan ini baru jam berapa, Dia itu nggak beneran lho ngurus Ibuk. Udahlah nurut sama mbak." Ya memang benar, Mila bukan menantu ideal idaman ibuk. Dulu saat dia masih gadis tidak seperti itu, karena sekarang dimanjakan dengan uang dari kakakku jadi seperti itu. 


"Tapi, kontrak kerja gimana Mbak? Ya udah nanti Ragil hubungi lagi. Ragil masih kerja Mbak." Jawabku sambil menuntup telpon. Sengaja agar mbak Liya nggak lagi berbicara panjang lebar. 


"Gampang. Kalau Kamu didenda urusan ... ." Udah aku tombol merah. Kalimat mbak Liya menggantung. Aku tahu yang ingin dia ucapkan, pasti masalah uang gampang. Ya begitulah saudaraku.


Tak terasa kami pun sudah sampai di pabrik.


"Selamat pagi mbak Intan, weh cantik sekali. Serasi sama calon suaminya." Cerocos salah seorang yang bersuara agak mendayu-dayu. Dia orang kepercayaan Intan di pabrik ini. Dasar tau aja kalau aku dulu berstatus calon suami Intan. Andai waktu bisa terulang. Tentu aku akan memilihmu tan Intan. 


Ceker

Bagian 4


Setelah sekian lama aku menikah, ternyata Tuhan belum memberikan kami momongan. Jadi hidupku hanya kesana kemari tak jelas. Pagi ngopi sama istri, siang nongkrong sama teman-teman, malamnya aku gunain untuk main HP sepuasnya. 


Nggak ada istimewanya hidupku. Begitupun dengan istriku kerjanya cuma belanja, belanja dan belanja. Ingin sebenarnya aku kerja. Seperti hari ini aku melamar pekerjaan di salah satu pabrik roti. 


"Selamat pagi Mbak ..." Sapaku kepada mbak-mbak berbaju merah.


"Pagi Mas ... Loh" jawabnya kaget.


"Intan?" tanyaku kaget. Dia mantanku semasa SMA. Setelah sekian lama aku tak bertemu dengannya, kini dia berubah total penampilannya.


"Iya Mas ... Aku Intan. Mas ada urusan apa disini?" Tanya terlihat senang.


"Aku mau nglamar kamu ... Eh. Maksudnya nglamar kerja." Duh. Keceplosan pula, karena saking gugupnya. 


"Ah Mas bisa aja. Nglamar kerja? Bukannya Mas dari keluarga kaya? Emang dibolehin sama keluarga Mas?" Dia masih hafal tabiat keluargaku.


"Ya gimana lagi, aku udah berkeluarga." Jawabku.


"Mas kok kelihatan kurus. Mas nggak bahagia dengan pernihannya?" dia kok bisa bertanya seperti itu ya. Memang benar adanya aku lebih kurus dibanding waktu SMA dulu.


"Bahagialah. Ouh iya aku bertemu pemilik pabrik roti ini." jawabku tertunduk lesu mengingat pernikahanku yang hambar.


"Pemilik pabrik? Mas kira aku disini kerja apa?" Jawaban dengan pertanyaa yang tambah bikin aku pusing.


"Dek ... Aku tanya serius loh ... " Aku kini bermuka serius.


"Aku juga serius Mas ... Mas diterima, tapi jadi asisten pribadiku" tambah pusing. Apa mungkin dia pemilik pabrik ini?


"Ya Mas ... Aku pemilik pabrik ini."


"Bukannya Pak Prima, pemiliknya ini kartu namanya, sebulan yang lalu aku bertemu dengannya." Aku masih tak percaya.


"Mas Prima itu suamiku Mas, sebulan yang lalu dia meninggal. Ya mungkin setelah bertemu denganmu itu Mas. Dia tertabrak mini bus ketika menyebrangkan anak kecil di jalan depan kecamatan." aku jadi merasa bersalah. Intan baru saja berduka.


"Maafkan aku Dek ..."


Singkatnya mulai hari ini aku sudah tidak jadi pengangguran. Cekerku sudah berfungsi. Aku akan mencari nafkah. 


"Mas pulang ... " Sapaku dari luar rumah. 


"Mas dari mana aja sih? Tuh ibuk khawatir nyariin Mas. Dari pagi sampai malam kayak gini baru pulang." Istriku komentar.


"Mas kerja Dek." Sambil aku merebahkan badan di kursi.


"Dari mana kamu Nak ... ? Kan udah ibuk saranin nggak usah kerja. Masalah uang gampang Nak." Ibuku datang dari dalam. Lagi dan lagi melarangku kerja.


"Aku nyari kerja bu ... Cuma dekat kok bu. Di sebelah kantor kecamatan. Pabrik roti bu. Kerjaku juga nggak berat. Ragil mohon izinin ya bu ... " pintaku memelas. Aku nggak mungkin membatalkan perjanjian kontrak kerja dengan Intan. Apalagi kerjaku mudah, hanya ngikuti Intan kemana aja dia pergi. Dia makan enak aku pun juga, dan gajinya pun setara dengan karyawan yang sudah lama kerja disitu. 


"Iya bu ... Izinin Mas Ragil kerja, biar Mas Ragil ada kegiatan dan hiburan bu ... " Istriku sangat setuju dengan pekerjaanku. Tapi kalau dia sampai tahu siapa bosku bisa gawat. Dewa api pun kalah dengan kemarahannya. Apalagi si Intan cantiknya kelewatan. Bau parfumnya aja serasa nempel di bajuku. Untung istriku nggak curiga. 


Aku sudah nggak sabar menunggu besok. Hari dimana aku diperkenalkan sebagai asisten barunya Intan. Semua karyawan memanggilnya bu, tapi khusus untukku dia maunya dipanggil Adek. Duh tan ... Intan ... Tunggu besok ya ... 

Ceker

 Bagian 3


Bruk... Bruk....

Mila datang mengagetkan lamunanku. Dia datang dengan membawa seabreg barang yang entah bagaimana dia tadinmembawanya.


"Mas ... Baguskan bajunya?" Sambil dia mempertontonkan tunik renda-renda.


Hanya ku balas dengan anggukan. Sampai beberapa kali dia membuatku mengangguk-angguk. Hasilnya ya kamar kini jadi pasar dadakan.


"Dik, tadi bilangnya mau belanja kebutuhan harian, kok baju semua ini?" Tanyaku bingung.


"Mas kan belum beliin aku baju selama kita nikah!" Bentaknya. Aku jadi sadar diri.


" Yaudah. Cepat beresin dan masakin Mas. Udah laper nih cacing." Pintaku.


"Uang kita banyak Mas, ngapain harus masak. Ayo kita ke warung depan kecamatan. Baksonya enak lho Mas." Tawarnya dan aku hanya mengiyakan saja.


Setelah beberapa menit, sampailah kita di sebuah warung kecil namun sesak pengunjung. Apalagi jam-jam makan siang seperti ini. 


"Dik, pesenin mas Mie Ayam ceker ya. Cekernya yang banyak. Minta tempat sendiri buat naruh cekernya. Jangan lupa lagi es teh nya minta tambahin gula biar tambah manis kayak kamu sayang." Pintaku sambil ku cubit hidung mancungnya.


Tak berapa lama pesanan kami datang. Lengkap dengan segala permintaanku. Memang enak sekali. Mienya gurih ditambah lagi ceker yang bikin semangat buat segera dimakan. 


Dari sebelah kursi ku dengar orang berkata. 


"Hidup itu butuh perjuangan Nak. Jangan mudah menyerah. Apalagi kamu akan jadi imam keluarga. Ibarat orang Jawa mengatakan kamu itu harus kayak ceker ini. Harus rajin dan pinter mencari rezeki. Kalau pun istrimu kaya ya memang itu rezekimu. Tapi nafkah adalah kewajibanmu." Sumpah ini kayak petir di siang bolong. Nafsu makanku jadi berubah. 


"Kita pulang Dik!"


"Kan belum habis Mas, sayang tau Mas ini kalau dibuang."


"Udah. Taruh. Kita pulang." Setelah ku taruh lembaran merah di meja langsung ku laju jalanan dengan muka yang entah bagaimana. Rasanya panas. Harga diriku terasa tersindir. Sampai rumah aku hanya diam. Dan diam hingga berhari-hari.


Seminggu kemudian Mila mengajakku ke rumah mbak Liya. Hanya berjarak 20 KM sebenarnya. Namun, aku jarang kesana karena aku tahu pasti hanya ada pembantunya.


"Mas tahu, kenapa Mila ajak kesini?." Aku menggeleng.  

Lanjutnya lagi "Mila kepengen bulan madu Mas. Juga kepengen menghibur Mas yang semingguan ini cuma diam aja." 


"Mas itu kepikiran Dik. Mas merasa bersalah kenapa jadi seperti ini. Mas belum bisa mandiri. Bahkan nafkah untukmu bukan hasil keringatku Dik." Jawabku lemas.


"Udahlah Mas. Nikmatin aja. Aku terima kok kalau kamu kayak gini. Nanti pasti mbak dan mas akan mengirimi kita uang Mas, secara mereka kaya Mas."


"Gitu ya Dik?"


"Ya iyalah Mas. Uang setumpuk mau diapakan kalau nggak buat kita adik ragilnya." Jawabnya mantap.


"Bener banget ya Dik." 


Begitulah hidupku. Uang bukan jadi masalah. Namanya juga Ragil. 

Hobinya Berkunjung ke Tempat Teman dan Saudara

  Hobinya Berkunjung ke Tempat Teman dan   Saudara   Hobi merupakan kesenangan seseorang untuk melakukan sesuatu hal. Seperti saya dan k...